Tugas Hukum dan HAM

Nama                           : Mutiara Riza Mawardah
Prodi                           : Ilmu Hukum
Tahun Akademik        : 2018/2019
Fakultas                       : Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dosen Pengampu        : Faiq Tobroni, M.H.
Mata Kuliah                : Hukum dan HAM

PEMBATASAN HAM DI INDONESIA DITINJAU DARI DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA DAN PANCASILA

Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan terhadap hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur ketentuan tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights). Antara lain dengan mencantumkan kata-kata pada Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 berikut, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”[1]
Dalam kondisi tertentu, hak-hak asasi manusia yang tidak termasuk non-derogable rights dapat dilakukan pembatasan dan pengurangan. Dalam UUD 1945 Perubahan ke Dua Pasal 28 J menyatakan:
1)      Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2)      Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM adalah salah satu ketentuan yang mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan HAM. Di dalam Pasal 73 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 ini, disebutkan bahwa kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, yang semata-mata hanya untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Selanjutnya, Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 kemudian menegaskan “tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM.
Dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) juga menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.
Kovenan ini memuat ketentuan yang mengatur adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan dalam kovenan ini antara lain diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), moral publik (public moral), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties).[2]
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan ini  dijabarkankan secara lebih detil di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Dimana dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini juga menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.[3]
Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi atau bisa dikatakan memenuhi mekanisme sebagai berikut:
a.       Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yg bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM juga harus jelas dan bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan ataupun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut.[4]
Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.[5]
b.      Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM.[6]
c.       Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam pengggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.[7]
d.      Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar yang sudah ada dalam masyarakat.
e.       Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik.
Selain itu, Prinsip Siracusa juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam ketentuan-ketentuan yang mengandung pembatasan itu harus :
a.       Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan.
b.      Menanggapi tekanan publik atau kebutuhan sosial.
c.       Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah.
d.      Proporsional pada tujuan tersebut di atas.
Prinsip Siracusa juga menyatakan bahwa penilaian pada perlunya pembatasan harus dibuat berdasar pertimbangan-pertimbangan obyektif.
Penerapan pembatasan HAM yang ada di Indonesia memiliki sudut pandang yang berbeda dengan perspektif HAM pada Pernyataan Umum tentang HAM atau dalam The Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), meskipun ada pula sudut pandang yang sama. Salah satu yang beda adalah bahwa Pelaksanaan HAM di Indonesia masih dibatasi oleh nilai-nilai moral dan agama, yang tidak dimiliki oleh The Universal Declaration of Human Rights (DUHAM).
Hal itu tidak terlepas dari prinsip pancasila yang dipegang teguh oleh Indonesia. Dimana pancasila sendiri memuat tentang pengaturan mengenai kebebasan untuk memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing. Dirumuskan pula tentang sikap untuk berlaku adil dan beradab terhadap sesama manusia. Sejalan dengan kovenan The Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) yang menyatakan klausul pembatasan, dimana pembatasan ini harus berdasarkan moral publik yang menjamin terjaganya nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, serta untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain yang semata-mata untuk mengurangi konflik antar hak yang mungkin terjadi. Akan tetapi, tidak berarti bahwa pembatasan HAM di Indonesia melanggar ketentuan terhadap huku HAM Internasional sepanjang dapat dibuktikan bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan hukum dan memenuhi prinsip proporsionality, necessity, dan just. Meskipun begitu, pembatasan yang spesifik dan tidak ambigu harus dikedepankan agar masyarakat dapat membedakan mana tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mana yang tidak.
Salah satu kasus tentang pembatasan HAM di Indonesia adalah terkait dengan Perppu tentang keormasan. Dimana okus utama dari HAM emiliki muatan kebebasan dan dan pembubaran institusi tempat hak tersebut dilaksanakan harus sesuai dengan hukum dan tidak boleh melanggar HAM. Oleh karena itu, ada tiga isu spesifik yang perlu disatukan lebih lanjut, yaitu pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul, pembubaran organisasi kemasyarakatan, dan masalah due process of law.
Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan sarana untuk memenuhi berbagai hal sipil, ekonomi, dan sebagainya. Hak-hak tersebut merupakan komponen utama dari demokrasi sebagai sarana untuk menyampaikan berbagai aspirasi  politik, sosial, budaya dari masyarakat. Hal itulah yang mencerminkan adanya pengakuan terhadap HAM di Indonesia. Kebebasan ini, dijamin di Indonesia melalui Pasal 28 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang keormasan. Dengan peraturan tersebut, maka kebebasan berserikat dan berkumpul ini seharusnya dapat dibatasi dengan baik sehingga tidak terjadi pelanggaran ataupun perusakan hak terhadapnya.
Sehubungan dengan hal itu, negara memiliki kewajiban untuk memfasilitasi dan menjamin jalannya kebebasan tersebut sehingga dapat sesuai dengan kebebasan yang sesuai dengan hukum yang ada. Negara juga berkewajiban untuk tidak mencampuri jalannya kebebasan untuk berserikat dan berkumpul dengan tidak patut.
Due process of law adalah suatu jaminan konstitusional yang menjamin harus adanya proses hukum yang adil yang memberikan kesempatan bagi individu dan memiliki kesempatan untuk didengar. Due process of law juga merupakan jaminan bagi hukum untuk dapat ditegakkan secara rasional, tidak sewenang-wenang, dan mewajibkan pemerintah untuk hak-hak rakyatnya. Terkait hal itu, Perppu No,2/2017 ini mengingkari dan melawan prinsip due process of law. Karena dengan sengaja menghilangkan proses tersebut dan membubasrkan suatu organisasi. Pemerintah bahkan memberikan penawaran yang bertolak belakang terhadap prinsip due process of law bagi para pihak yang merasa dirugikan oleh perppu ini.











DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Amandemen Kedua, Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Perppu No.2/2017 tentang Keormasan
Lockwood B.B., Jr, Finn, J., dan Jubinsky G., “Working Paper for the Committee of Experts on Limitation Provisions”, dalam Human Rights Quarterly, Volume 7.
The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4.
The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39.




[1] Amandemen kedua, UUD 1945, Pasal 28I ayat (1)
[2] Lockwood B.B., Jr, Finn, J., dan Jubinsky G., “Working Paper for the Committee of Experts on Limitation Provisions”, dalam Human Rights Quarterly, Volume 7, hal. 44-88.
[3] The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4.
[4] The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4, paragraf 15—18.
[5] The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39.
[6] The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4, paragraf 20-21.
[7] The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4, paragraf 22—24.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Media Baru sebagai Media Dakwah dan Kemandirian Sosial-Religius